Senin, 07 September 2015

soal-jawab metopen

1.      Bagaimana anda membuat instrumen untuk mengukur sebuah konsep atau variabel. Pertimbangan apa saja yang harus diingat untuk mengukur sebuah konsep tersebut?
Jawaban:
Terdapat beberapa langkah umum yang bisa ditempuh dalam menyusun instrumen untuk mengukur konsep atau variabel, antara lain:
1.    Analisis variabel penelitian, yaitu mengkaji variabel menjadi sub penelitian sehingga indikatornya dapat diukur dan menghasilkan data yang akurat. Membuat indikator variabel, peneliti dapat menggunakan teori ataupun konsep pengetahuan ilmiah yang relevan dengan variabel tersebut, atau dengan menggunakan fakta berdasarkan pengamatan secara langsung.
2.    Penetapan penggunaan jenis instrumen dalam mengukur variabel, subvariabel, ataupun indikatornya. Setiap variabel dapat diukur dengan satu atau lebih jenis instrumen.
3.    Menyusun kisi-kisi instrumen, dimana kisi-kisi tersebut berisi materi, jenis, dan banyaknya pertanyaan serta waktu yang dibutuhkan. Setiap indikator akan menghasilkan beberapa isi pertanyaan, serta abilitas yang diukur atau kemampuan yang diharapkan dari subjek penelitian.
4.    Menyusun item pertanyaan. Untuk menyusun item pertanyaan tersebut harus sesuai dengan jenis dan jumlah instrumen berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Selain itu, peneliti dapat membuat lebih dari jumlah pertanyaan yang ditetapakan, atau pertanyaan cadangan. Setiap item pertanyaan yang telah dibuat, jawaban atau gambaran yang diinginkan dari pertanyaan tersebut harus dibuat oleh peneliti.
5.    Revisi instrumen. Instrumen yang telah dibuat sebaiknya dilakukan uji coba guna perbaikan isi dan pembahasan, menghilangkan instrumen yang tidak sesuai atau diganti dengan instrumen yang baru.
Adapun beberpa hal yang perlu diperhatikan dalam mengukur konsep tersebut menurut Nana Sudjana (Uhar Suharsaputra,  2012:95) antara lain:
1.    Masalah dan variable yang diteliti termasuk indicator variable harus jelas sehingga dapat dengan mudah menetapkan jenis instrumen yang digunakan.
2.    Sumber data/ informasi, baik jumlah maupun keragamannya harus diketahui terlebih dahulu, sebagai bahan dasar dalam menentukan isi, bahasa, sistimatika item dalam instrument penelitian.
3.    Keterandalan dalam instrument itu sendiri sebagai alat pengumpulan data, objekvitas, dll.
4.    Jenis data yang diharapkan dari pengguna instrumen harus jelas. Sehingga peneliti dapat menetukan gaya analisis dan pemecahan masalah penelitian.
5.    Mudah dan praktis digunakan akan tetapi dapat menghasilkan data yang diperlukan.

2.      Apa yang dimaksud dengan validitas internal dan validitas eksternal, coba jelaskan juga bagaimana bahwa yang satu menjadi prasyarat bagi yang lain!
Jawaban:
Validitas internal adalah ikwal kesahihan penelitian yang menyangkut pernyataan ; sejauh mana perubahan yang diamati dalam suatu penelitian (terutama penelitian ekprimental) benar-benar hanya terjadi karena perlakuan yang di berikan dan bukan pengaruh factor lain (variabel luar). Validitas internal merupakan hal yang esensial yang harus dipenuhi jika peneliti menginginkan hasil studinya bermakna.Validitas internal mengacu pada kemampuan desain penelitian untuk menyingkirkan atau membuat masuk akal penjelasan alternatif hasil, atau masuk akal dugaan sementara (Campbell, 1957; Kazdin, 2003c).
Validitas eksternal adalah  ikhwal penelitian yang menyangkut pertanyaan, sejauh mana hasil suatu penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi induk (asal sampel) penelitian diambil. Validitas eksternal berkaitan dengan generalisasi hasil penelitian studi. Dalam semua bentuk desain penelitian, hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah terbatas kepada para peserta dan kondisi seperti yang didefinisikan oleh kontur penelitian dan mengacu pada sejauh mana generalisasi hasil penelitian untuk lain kondisi, peserta, waktu, dan tempat (Graziano & Raulin, 2004). 
Untuk meyakinkan bahwa desain penelitian eksperimen layak untuk pengujian hipotesis penelitian, maka dilakukan pengendalian terhadap validitas internal dan validitas eksternal, sebab baik validitas internal maupun eksternal sangat berkaitan satu sama lain dan tidak menutup kemungkinan pula satu diantaranya menjadi prasyarat bagi yang lain.
Suatu eksperimen dikatakan valid jika hasil yang diperoleh hanya disebabkan oleh variabel bebas yang dimanipulasi, dan jika hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada situasi di luar setting eksperimental (Emzir:2009) Sehingga ada dua kondisi yang harus diterima yakni faktor internal dan eksternal.

3.      Coba jelaskan bagaimana menyusun latar belakang masalah penelitian. Setelah itu buatlah rumusan masalahnya dan susunlah tujuan penelitiannya!
Jawaban:
Latar belakang masalah atau latar belakang penelitian memuat tentang permasalahan penelitian dan mengapa masalah tersebut perlu diteliti. Penting di sini bahwa permasalahan penelitian setidaknya berasal dari beberapa sumber masalah sebagai berikut:
1.    Ada fenomena atau data lapangan.
2.    Ada perbedaan perspektif atau paradigma dari beberapa teori yang terkait.
3.    Ada kesenjangan di antara hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Dengan demikian latar belakang harus dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
·       Apa fenomena yang penting dan mengapa penting?
·       Apakah fenomena tersebut pernah diteliti dan apa kelemahannya jika sudah diteliti?
·       Apa yang membedakan penelitian yang akan Anda lakukan dengan penelitian sebelumnya?
Contoh Penyusunan Latar Belakang Masalah Penelitian, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian:
A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan yang luas terkait dengan kehidupan manusia. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, idealnya akan terjadi imbal balik antara lingkungan dengan kegiatan belajar IPA. Melalui lingkungan siswa mampu mendapatkan ilmu pengetahuan alam yang berharga. Demikian juga sebaliknya, melalui kegiatan belajar IPA siswa dapat lebih dekat dengan lingkungan serta mengetahui bagaimana melestarikan lingkungan tersebut. Dengan demikian, lingkungan sekitar menjadi media yang penting dalam kegiatan belajar IPA. Siswa akan menemukan berbagai permasalahan dan menemukan pula solusinya melalui lingkungan sekitarnya.
Pembelajaran IPA yang berkaitan dengan lingkungan menyebabkan hasil belajar yang dicapai siswa lebih baik jika dibanding dengan mata pelajaran lainnya. Materi yang disajikan sebagian besar berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti pengelompokan hewan berdasarkan makanannya, hubungan sesama makhluk hidup dan antarmakhluk hidup dengan lingkungannya, gaya, energi panas dan alternatif, dan lain-lain. Namun, pada kenyataannya tidak demikian dengan siswa kelas IV SDN Kalisari III Kec. Sayung. Ketuntasan belajar yang dicapai pada mata pelajaran IPA materi pengelompokkan hewan sebesar 52%. Hal ini menunjukkan bahwa hampir separuh dari keseluruhan siswa tidak tuntas belajarnya atau mendapat nilai di bawah KKM yang ditentukan yaitu 65. Berdasarkan analisis guru, rendahnya ketuntasan yang dicapai siswa disebabkan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah saja saat memberikan penjelasan dan contoh-contoh. Kegiatan ini membuat siswa bosan dan tidak konsentrasi dengan materi yang dipelajari. Oleh karena hal tersebut, guru bermaksud mengadakan perbaikan melalui penelitian tindakan kelas (PTK) untuk meningkatkan hasil belajar IPA melalui metodediscovery/penemuan.
Metode discovery menurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Metode discovery merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar siswa aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif.
Rohani (2004) berpendapat bahwa peserta didik sebagai subjek disamping sebagai objek pembelajaraan. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara  optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Proses pembelajaraan harus dipandang sebagai stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta didik untuk merasa telibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran.
Pembelajaran menggunakan metode ini berpusat pada siswa, sedangkan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing. Dengan demikian, siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut. Selain itu, penggunaan metode ini dapat mengurangi ketergantungan siswa kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi yang diperlukan oleh para siswa dan melatih para siswa mengeksplorasi atau memanfaatkan lingkungan sebagai sumber informasi yang tidak pernah tuntas digali. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis akan mengadakan penelitian dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan Metode Discovery pada Mata Pelajaran IPA di Kelas IV SDN Kalisari III”.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1.        Bagaimanakah penggunaan metode discovery untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di kelas IV SDN Kalisari III?
2.        Apakah penggunaan metode discovery dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di kelas IV SDN Kalisari III?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalah tersebut, adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1.        Untuk mengetahui bagaimana penggunaan metode discovery untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di kelas IV SDN Kalisari III
2.        Untuk mengetahui apakah penggunaan metode discovery dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di kelas IV SDN Kalisari III
4.    Buatlah hubungan antara dua variabel yang bersifat (masing-masing 2 contoh):
       a. Assosiatif
       b. Kausal
       c. Reversibel
       Jawaban:
a.         Assosiatif
1.    Adakah hubungan antara banyaknya semut dipohon dengan tingkat manisnya buah?
2.    Hubungan antara kemampuan matematis dengan kemampuan berbahasa.
b.        Kausal
1.    Adakah pengaruh pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar anak?
2.    Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala SMK terhadap kecepatan lulusan memperoleh pekerjaan?
c.         Reversibel
1.    Hubungan antara prestasi dan beasiswa, pada kasus ini diasumsikan bahwa orang yang berprestasi akan mendapatkan beasiswa, sebaliknya orang yang mendapatkan beasiswa sudah pasti adalah orang yang berprestasi atau pintar.

2.    Hubungan antara motivasi dengan prestasi. Disini dapat dinyatakan motivasi mempengaruhi prestasi dan juga prestasi mempengaruhi motivasi.

PERAN KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM PRESTASI AKADEMIK ANAK

Orang tua yang terlibat dalam sekolah anak-anaknya dapat membentuk sikap positif terhadap masalah akademik anak begitu juga dengan para guru anaknya. Mereka para orang tua menggaji para guru dengan gaji yang lebih tinggi secara interpersonal dan memberikannya sebagai kompensasi atas kemampuannya dalam mengajar, membantu anak mereka dengan memberikan beberapa saran, ide atau dukungan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), sebagaimana Epstein (1987) telah melakukan penelitian akan hal tersebut. Keterlibatan orang tua juga cenderung akan memperoleh dukungan dari orang lain kaitannya dalam masalah-masalah masyarakat, dan selanjutnya pada masalah pendidikan mereka sendiri (Henderson, 1987).
Program keterlibatan orang tua telah diuji secara empiris dalam berbagai penelitian, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Barth 1979, Epstein 1987, Fehrmann, Keith dan Reimerns 1987, Karraker 1972, Walberg, Bole dan Waxman 1980. Sebagai contoh, Walberg 1980 menguji sebuah program sekolah yang besar (K 6) dimana orang tua menandatangani kontrak, berjanji untuk menetapkan pengharapan yang tinggi, menyediakan sebuah lingkungan belajar yang tepat. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa antara kelas satu dengan kelas yang lain akan terlihat berbeda antara yang unggul dan yang tidak tergantung pada sejauh mana para guru bekerja dalam mengurus kelas tersebut. Pada kelas dimana para gurunya berusaha keras dalam melibatkan orang tua dalam prestasi akademik anak, maka kelas tersebut mencapai tingkat 1.1 dalam keuntungan membaca. Sedangkan pada kelas dimana kurang melibatkan orang tua dalam prestasi akademik anak hanya mencapai tingkat 0.5
Dalam proses belajar pada tingkat pertama, kedua dan ketiga, antara para guru, kepala sekolah, orang tua dan siswa mempunyai hubungan yang positif jika para guru melibatkan orang tua dalam prestasi akademik anaknya, demikian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Epstein pada tahun 1987. Apalagi pada siswa tingkat 5 akan memberikan perkembangan sikap yang positif terhadap sekolah dan akan lebih banyak mendapatkan tugas pekerjaan rumah (PR) di akhir minggu.
Untuk menguji sikap keterlibatan orang tua, beberapa peneliti telah mengungkapkan efek persepsi atas keterlibatan orang tuanya terhadap hasil belajar mereka. Keith dan beberapa rekannya (Fehrmann, 1987 dan Keith , 1986) mendefiniskan keterlibatan orang tua sebagai suatu kinerja yang dapat dilihat dan diharapkan, dorongan lisan atau semacam interaksi yang berhubungan dengan tugas rumah, penguatan langsung dalam perkembangan akademik, dan bimbingan serta dukungan akademik pada umumnya. Berdasarkan  data HSB (The High School and Beyond), didapatkan hasil bahwa keterlibatan orang tua mempunyai dampak positif terhadap kemampuan siswa.

Bempechat dan rekannya (1998) telah mengembangkan Education Socialization Scale (ESS) atau dalam bahasa indonesia kita dapat mengartikannya skala sosialisasi pendidikan untuk menekan persepsi siswa terhadap akademik orang tuannya dan praktik sosialisasi kognitif sejauh mana pengawasan orang tua terhadap anaknya diluar waktu sekolah. Mereka mengemukakan bahwa terlepas dari status sosial atau etnis, prestasi dalam mata pelajaran matematika berkaitan secara positif dengan frekuensi persepsi dan sosialisasi pendidikan intens dan persepsi pengawasan yang tinggi. Sehingga diperoleh bukti bahwa bimbingan yang intens dan dukungan yang kuat pada aktifitas akademik merupakan faktor penting dalam mencapai prestasi anak disekolah.

question and answer about curriculum


1.      What is the relationship of curriculum to instruction?
Answer:
Hubungan  atau kaitan antara kurikulum dan pengajaran:
            Telah dijelaskan oleh Wiles dan Bondi (1989) bahwa rencana dalam pembelajaran termasuk didalamnya adalah kurikulum, dimana setiap guru wajib membuat perencanaan pembelajaran yang berisi; mengajarkan ‘sesuatu’ untuk beberapa ‘tujuan’. Sehingga ‘sesuatu’ dan ‘tujuan’ tersebut yang disebut kurikulum. Kurikulum menjelaskan rencana-rencana pembelajaran yang akan dilaksanakan, sebuah dokumen tertulis dengan tujuan menentukan hal-hal penting apakah yang perlu dipelajari. Sebuah rencana pembelajaran merupakan sebuah pemaparan yang mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah urutan atau perkembangan yang berisi tujuan pembelajaran dan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan mulai dari awal pelaksanaan hingga akhir. Adapun tujuan dari sebuah pembelajaran harus sudah dihafal oleh guru, dan kurikulum sebagai pemandunya serta buku-buku yang relevan sebagai pendukungnya.
            Dalam pandangan John Dewey disebutkan bahwa kurikulum dapat disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah didapatkan oleh para pembelajar (siswa). Sehingga Caswell dan Campbell, 1935 mendeskripsikan kurikulum sebagai “seluruh pengalaman yang dimiliki oleh para siswa dibawah bimbingan para guru”. Definisi ini menjelaskan bahwa para  guru Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dapat menemukan metode yang lebih nyaman karena hal tersebut dapat menekankan pentingnya lingkungan sekolah dan peran partisipasi guru dalam membuat rencana-rencana pembelajaran untuk para siswanya.
            Kaitannya dengan tujuan kurikulum, Eisner (1990) memaparkan bahwa kurikulum dan tujuannya sebagai “membebaskan pikiran dari suatu kepastian, membebaskan anak-anak dan remaja sehingga mereka dapat mempertimbangkan pilihan tanpa paksaan orang tua”. Dalam pandangan ini tujuan paling penting dan peran guru lah yang memegang peranan dalam menyusun dan menjalankan kurikulum itu sendiri. Seorang guru tidak hanya sebagai penyalur dan pembimbing dalam penemuan siswa, tetapi seorang guru juga membantu para siswa dalam mengeksplorasi pengalaman dan mencari makna pribadi baik di dalam maupun luar kurikulum.
            Pandangan Eisner tentang kurikulum inilah yang mendorong pendekatan konstruktivist pada pengajaran, dimana guru mengajarkan siswa untuk bertanggung jawab atas pelajaran yang mereka dapatkan, berfikir otonom, mengembangkan pemahaman atas konsep-konsep yang saling berintegrasi antara satu dan lainnya, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting.

2.      What National standards have been developed and how will they impact school curriculum?
Answer:
·         Standar Nasional yang telah dikembangkan antara lain;
1.      The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) atau Dewan Nasional Guru Matematika dimana telah mempublikasikan standar profesional dalam pengajaran matematika pada tahun 1991. Publikasi yang telah disusun tersebut menjadi model dalam pengembangan dewan nasional bidang lainnya.
2.      Pada tahun 1995 telah berkembang beberapa dewan nasional yang lainnya, seperti Dewan Nasional Pendidikan Geografi, Dewan Nasional bidang sosial, Dewan Nasional Guru Bahasa Inggris, dan International Reading Association. Proyek standar pendidikan nasional telah didukung oleh Dewan Penelitian Nasional yang dikembangkan oleh American Education for The Advancement of Science.

·         Dampak Standar Nasional terhadap Kurikulum sekolah:
1.      Standar nasional yang telah dikembangkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kurikulum sekolah dan dapat menjadi ukuran penilaian bidang ilmu yang dipelajari.
2.      Menjadikan kurikulum lebih fokus terhadap bidang ilmu yang dipelajari.
3.      Sistem pengajaran akan lebih rapi dan dapat mencapai target dan tujuan dari pengajaran atau kurikulum itu sendiri.
4.      Memberikan tantangan kepada para guru mengingat begitu banyak bidang ilmu pengetahuan yang harus mereka pelajari, sehingga akan menjadikan guru tersebut lebih profesional dalam mengajar.

3. What does a constructivist approach to teaching mean?
     Answer:
                 Arti pendekatan konstruktivis dalam mengajar adalah:
                             Menurut Tierney (1990) konstruktivisme mempengaruhi pengajaran dalam membaca dan menulis. Newman, Griffin dan Cole (1989) menambahkan bahwa konstruktivisme tidak hanya mempengaruhi pengajaran dalam membaca dan menulis saja, melainkan dalam subjek-subjek yang lain juga.
                             Konstruktivis dalam proses belajar mengajar yang telah dibahas dalam paper memaparkan bahwa pengetahuan dibentuk dari pemikiran setiap pembelajar dan pendekatan pembelajaran yang efektif akan menggali pemikiran pembelajar melalui belajar mengajar yang efektif, pengalaman otentik, kolaborasi dalam kegiatan diskusi, dan penataan konsep utama dalam belajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendekatan konstruktivis merupakan sebuah pengetahuan dan pembelajaran yang menjelaskan bagaimana guru berperan dalam memberikan pengajarannya. Dimana guru membantu para siswa dalam menyerap ilmu baru yang mereka dapatkan sehingga mereka para siswa dapat memproses dan  mengamalkan pengetahuan-pengetahuan baru tersebut (Good & Brophy, 1994).
                             Sebagaimana dua parar pendidikan yang lain, yaitu; Henry Pestalozzi dan Freder-Froebel menyatakan bahwa aktivitas belajar mengajar berpusat pada ‘learning by doing’, dan hal tersebut merupakan salah satu karakteristik dari pendekatan pengajaran konstruktivis. Para guru konstruktivis lebih mengutamakan mengajar untuk pemahaman, artinya bahwa mereka para guru mengharapkan siswanya agar mampu menjelaskan, menemukan bukti dan contoh, menyamaratakan, mengamalkan, dan menyajikan konsep-konsep dengan cara dan metode yang baru (Perkins & Blythe, 1994). Para guru memberikan tugas-tugas yang akan mendorong siswa untuk menggunakan apa saja yang mereka telah pelajari.
                             Para peneliti telah mengembangkan 4 kerangka untuk mendorong kesuksesan dalam pengajaran menggunakan metode konstruktivis, antara lain;
1.      Menggunakan topik umum, dimana guru dan siswa menggunakan topik yang sesuai dengan bidang keilmuan mereka, penting bagi siswa, dan sesuai dengan topik yang berkaitan dengan rumpun ilmu yang mereka pelajari.
2.      Mengembangkan tujuan pemahaman, dimana guru dan siswa perlu mengidentifikasi beberapa tujuan utama pada sebuah topik, sehingga siswa akan paham akan tanggung jawab mereka, dan mereka para siswa akan mengerti dan paham beberapa poin penting di dalam pelajaran tersebut.
3.      Merencanakan kinerja pemahaman, dimana guru mendesai  beberapa pengalaman yang akan mendukung pengetahuan mereka dalam mencapai tujuan pembelajaran.

4.      Melakukan penilaian yang berkesinambungan. Di dalam kelas konstruktivis dengan penekanan utama pada pemahaman, para siswa memerlukan umpan balik dan kesempatan untuk merefleksikan kemajuan mereka dalam belajar. Sehingga guru perlu mengadakan penilaian secara berkesinambungan untuk mengukur kemampuan siswa di dalam proses belajar mengajar.

Pendidikan Karakter di Sekolah


     
Abstrak

Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.  Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.

Kata kunci: pendidikan karakter

PENDAHULUAN
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut menyatakan bahwa fungsi pendidikan Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan dan fungsi pendidikan nasional tersebut mengandung makna secara substansi bahwa pendidikan kita diarahkan kepada pendidikan berbasis pembangunan karakter. Oleh karena itu Pendidikan di sekolah harus diselenggarakan dengan sistematis sehingga bisa melahirkan siswa yang kompetitif, bertika, bermoral, sopan santun dan interaktif dengan masyarakat. Pendidikan tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif yang bersifat teknis, tetapi harus mampu menyentuh kemampuan soft skill seperti aspek spiritual, emosional, social, fisik, dan seni. Yang lebih utama adalah membantu anak-anak berkembang dan menguasai ilmu pengetahuan yang diberikannya.

Rumusan Masalah
Bagaimana peran guru dalam pembentukan karakter siswa?
Tujuan
Mengetahui peran guru dalam pembentukan karakter siswa.

PEMBAHASAN
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri (ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan personal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.

Dalam pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.
Ada beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai berikut.
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya. Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik.
5.  Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantng kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya.

Dalam uraian di atas menggambarkan peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan faktor mutelak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu dan ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.

KESIMPULAN
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu : a) guru merupakan pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang dilakukannya di kelas dan luuar kelas; b) guru hendaknya diberikan hak penuh (hak mutelak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya; dan c) guru hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif, dengan menggunkan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristif setiap peserta didik, serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku penentu kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional

Mulyana, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.